Kementerian
Komunikasi dan Informatika bersama Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme ( BNPT ) memberikan fakta latar belakang
mengapa layanan web telegram diblokir. Alasan utama rencana pemblokiran adalah
telegram merupakan tempat beredarnya konten radikal dan terorisme.
berdasarkan
penelusuran yang dilakukan, sejak 2015 lalu sudah ada 17 aksi terorisme yang
memanfaatkan Telegram sebagai alat komunikasinya.
“Sejak 2015, mereka
(teroris) sudah memanfaatkan Telegram sebagai alat komunikasi. Dari semua aksi
yang terungkap, hanya ada dua yang tidak memakainya,” demikian dikatakan Dirjen
Aplikasi Informatika Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan Dalam paparannya,
Semuel Pangerapan memperlihatkan catatan aksi teror mana saja yang dilakukan
dengan memanfaatkan Telegram sebagai alat komunikasi.
Rinciannya sebagai berikut:
1. 23 Desember
2015: Rencana bom mobil tempat ibadah dan pembunuhan Ahok
2. 14 Januari 2016:
Bom dan penyerangan bersenjata api di jalan M.H. Thamrin, Jakarta
3. 5 Juni 2016: Bom
Mapolresta Surakarta
4. 8 Juni 2016:
Rencana pengeboman Pos Pol Lantas Surabaya
5. 28 Agustus 2016:
Bom Gereja Santa Yoseph Medan
6. 20 Oktober 2016:
Penyerangan senjata tajam Pos Pol Lantas Tangerang
7. 13 November
2016: Bom Gereja Oikumene Samarinda
8. 23 November
2016: Rencana pengeboman DPR RI dan DPRD
9. 10 Desember
2016: Rencana pengeboman Istana Merdeka
10. 21 Desember
2016: Rencana pengeboman Pos Polisi Tangerang
11. 25 Desember
2016: Rencana penyerangan senjata tajam Pos Polisi Bundar Purwakarta
12. 27 Februari
2017: Bom Cicendo Bandung
13. 8 April 2017:
Penyerangan senjata api Pos Polisi Tuban
14. 27 Februari
2017: Bom Kampung Melayu Jakarta
15. 25 Juni 2017:
Penyerangan senjata tajam penjagaan Mako Polda Sumut
16. 30 Juni 2017:
Penyerangan senjata tajam di Masjid Falatehan Jakarta
17. 8 Juli 2017:
Bom panci Buah Batu Bandung
Lebih lanjut,
Dirjen Aplikasi Informatika , Kemenkominfo mengatakan detail empat hal yang
dituntut oleh pemerintah dari Telegram adalah sebagai berikut:
1. Dibuatnya Government
Channel di Telegram, agar komunikasi dengan Kemenkominfo lebih cepat dan
efisien.
2. Kemenkominfo
meminta diberikan otoritas sebagai Trusted Flagger terhadap akun atau kanal
dalam Telegram.
3. Kemenkominfo
meminta Telegram membuka kantor perwakilan di Indonesia
4. Untuk persoalan
filtering atau penapisan konten, Kemenkominfo akan berkoordinasi untuk
melakukan perbaikan proses, organisasi, teknis serta sumber daya manusia (SDM).
Sebelumnya, sempat
terjadi miskomunikasi antara Telegram dan pemerintah Indonesia. Saat terjadi
pemblokiran, CEO Telegram Pavel Durov sempat mengungkap keheranannya karena
tidak ada komunikasi dari pemerintah Indonesia.
Sedangkan menurut
Kemenkominfo, pihaknya telah lima kali
mengirim e-mail untuk berkomunikasi mengenai masalah konten radikal dalam
Telegram.
Pavel Durov sendiri
kemudian merevisi pernyataannya dan mengaku timnya terlambat merespons surat
dari pemerintah Indonesia.
Durov juga
menawarkan tiga solusi, yakni memblokir semua channel publik terkait terorisme,
berkomunikasi secara langsung melalui e-mail, serta membentuk tim moderator
khusus yang paham bahasa dan budaya Indonesia.