Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi
Kemasyarakatan ( Perppu Ormas) menjadi undang-undang melalui rapat paripurna di
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 24 Oktober 2017.
Sejak diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum dan Keamanan Wiranto pada Rabu, 12 Juli 2017 lalu, banyak pihak mendukung
penerbitan Perppu Ormas. Namun. tidak sedikit pula kelompok yang tidak setuju
dengan adanya kebijakan tersebut.
Perppu tersebut disahkan menjadi undang-undang melalui
mekanisme voting sebab seluruh fraksi pada Rapat Paripurna gagal mencapai
musyawarah mufakat meskipun telah dilakukan forum lobi selama dua jam. Tercatat
tujuh fraksi yang menerima Perppu tersebut sebagai undang-undang yakni fraksi
PDI-P, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura. Namun Fraksi PPP, PKB,
dan Demokrat menerima Perppu tersebut dengan catatan agar pemerintah bersama DPR
segera merevisi Perppu yang baru saja diundangkan itu. Dengan disahkannya
Perppu Ormas menjadi Undang-undang, maka pemerintah melalui regulasi ini
memiliki wewenang untuk membubarkan sebuah ormas yang mengancam NKRI dan
bertentangan dengan Pancasila.Pembubaran ormas merupakan tahapan sanksi
terakhir yang akan dijatuhkan kepada ormas yang melanggar.
Sebelumnya,
pemerintah melalui menteri terkait akan memberikan peringatan tertulis hingga
penghentian kegiatan. Jika sanksi penghentian kegiatan tak digubris, pemerintah
baru akan menjatuhkan sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum alias pembubaran Kelompok masyarakat yang pro menilai Perppu Ormas memberikan
kekuatan hukum bagi pemerintah untuk menindak ormas-ormas radikal yang
bertentangan dengan ideologi Pancasila. Sementara, kelompok yang kontra
memandang pemerintah dikhawatirkan bertindak sewenang-wenang dan represif
dengan berlandaskan Perppu Ormas.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai
UU Ormas yang baru berpotensi mengancam masyarakat sipil yang kritis terhadap
pemerintah. "Tidak hanya bagi ormas-ormas yang dianggap ‘fundamentalis’
atau bertentangan dengan ideologi Pancasila, legislasi tersebut berpotensi
menjadi alat represi pemerintah untuk membungkam gerakan masyarakat sipil di
Indonesia," ujar Usman melalui keterangan tertulis, Selasa 24 Oktober 2017
.