Integrasi praktek perpolisian dengan media sosial dimulai
pada tahun 2003, ketika hasil riset dari Leishman dan Mason menilai bahwa
internet memberikan banyak kesempatan kepada kepolisian untuk mempromosikan
hasil pekerjaannya (Lee dan McGovern, 2014:115), sejak saat itu dalam satu
dekade, pola perpolisian yang mengandalkan pola manajemen media di dunia maya
menjadi tumbuh subur dan menjadi sebagai salah satu kekuatan utama berbagai
organisasi kepolisian dalam mengimplementasikan praktek perpolisian. Tidak
hanya itu, organisasi kepolisian dalam waktu yang sangat singkat telah menjelma
menjadi sebagai pemimpin di media sosial dan mendapatkan pujian dari pemerintah
dan sektor publik sebagai acuan / best practice dalam mengintegrasikan sosial
media ke dalam aktifitas rutin departemen kepolisian (Lee dan McGovern,
2014:115).
Praktek pemanfaatan media sosial sehingga meningkatkan image
kepolisian adalah menampilkan peran polisi sebagai pelayan masyarakat dari pada
peran penegak hukum (crime fighter) dalam rangka menekan rasa takut masyarakat
akan penyimpangan yang terjadi dan membina hubungan antara komunitas dan
kepolisian (Lee dan McGovern, 2014:125). Praktek yang sama juga dilakukan oleh
Kepolisian Inggris, dimana pada peristiwa kerusuhan di Inggris tahun 2011,
kepolisian Inggris menggunakan media sosial untuk mengurangi rasa ketakutan
masyarakat terkait peristiwa kerusuhan yang sedang berlangsung,
merekomendasikan berbagai upaya menjaga keamanan diri di tengah kerusuhan yang
sedang berlangsung dan menginformasikan berbagai layanan informasi yang dapat
dihubungi apabila menghadapi keadaan yang bersifat darurat, dimana keseluruhan
aktifitas kepolisian yang dilakukan kepolisian Inggris pada saat itu adalah
tetap memperhatikan keadaan masyarakat dan penanganan kerusuhan tidak membuat
pelayanan kepolisian berkurang kualitasnya, sehingga berhasil memberikan
ketenangan kepada masyarakat dan menciptakan persepsi bahwa kerusuhan yang
sedang berlangsung dapat diatasi oleh pihak kepolisian. Strategi komunikasi
tersebut diganjar dengan respon positif dari masyarakat Inggris, bahkan paska
kerusuhan, kepolisian mendapatkan banyak sekali masukan terkait pelaku
provokasi kerusuhan, foto-foto pelaku kerusuhan, kemudahan melakukan identifikasi
identitas melalui media sosial dan berbagai masukan lainnya yang memudahkan
pihak kepolisian melakukan penegakkan hukum (Lee dan McGovern, 2014:126).
Bahkan praktek perpolisian dari Metropolitan London salah
satu organisasi kepolisian yang sangat legendaris ketika pertama kali dibentuk
pada tahun 1829, menekankan kepada manajemen image karena pembentukan Metropolitian
London pada saat itu, mendapat penolakan keras dari masyarakat Inggris karena
tingginya kekuatiran kekuatan kepolisian akan digunakan seperti di Perancis
pada masa Napoleon Bonaparte berkuasa, dimana organisasi kepolisian di Perancis
dijadikan sebagai sebuah kekuatan untuk meredam ketidaksetujuan masyarakat
terhadap tindakan Napolen Bonaparte yang mengangkat dirinya menjadi Kaisar
karena bertentangan dengan semangat Revolusi Perancis, dimana Revolusi Perancis
merupakan sebuah perjuangan dari rakyat Perancis yang meruntuhkan kekuasaan
Kaisar (sistem feodal) sehingga bentuk pemerintahan menjadi Republik dan
Napoleon adalah salah satu tokoh yang meruntuhkan kekuasaan Kaisar, namun
setelah berbagai kemenangan besar dalam proses menguasai seluruh dataran eropa,
Napoleon mengangkat dirinya sebagai Kaisar, dan dalam rangka meredam
ketidaksetujuan rakyat Perancis, Napoleon Bonaparte menjadikan kekuatan
kepolisian sebagai ‘polisi mata-mata’ yang melakukan serangkaian penangkapan
terhadap warga perancis yang dinilai tidak menyetujui kebijakan Napoleon yang
mengangkat dirinya menjadi Kaisar.
Aspek risiko keberadaan kekuatan kepolisian
inilah yang menjadi pertimbangan utama penolakan masyarakat Inggris terhadap
keputusan pembentukan Metropolitan London, sehingga menjuluki satuan kepolisian
tersebut sebagai “Peels Bloody Gangs” (Lyman, 1964: 151-155). Namun dalam waktu
singkat, hanya satu tahun sejak didirikan, akibat mengutamakan manajemen image,
kepolisian Metropolitian London berhasil merubah julukannya menjadi ‘Bobby’,
sebuah panggilan kesayangan yang menunjukkan rasa persahabatan dan cinta
masyarakat London kepada organisasi Kepolisian (Lee dan McGovern, 2014: 49).
Penulis : Kompol Wahyubram Istanto, S.I.K.,M.I.K, Perwira Siswa Sespimen Angkatan ke-59.